Thursday, June 23, 2011
Beautiful Tattoo Inspiration
Tattooing is a form of art that will stay with you for the rest of your lift. Getting inspiration for a particular tattoo is important so that you still like the tattoo even years down the road. One story of being inspired to get a tattoo is the passing of a loved one. I was just at a house of a young girl who has just a few days to live, she is 11 years old. Her dad has tons of tattoos all over his arms, but you can bet that he will find room on his body to get a loving tattoo of his daughter if she passes away. Short of a miracle she will pass away at any time.
The hardest part of a tattoo is finding that inspiration to get it. When a loved one passes away its much easier to get a tattoo in their name. It’s sad but this is a way that many people deal with a death in the family.
The arms, wrists and chest are the most common places to put a tattoo of this type.
Sunday, June 12, 2011
Tattoo Flash Designs
Tattoo Flash Designs
A tattoo flash is a tattoo design printed or drawn on paper or cardboard stereotypes, and be considered a industrial design. It is shown in general on the walls of tattoo parlors and binders, give dates any ideas for clients for tattoos. Most traditional tattoo flash was designed for rapid tattooing, and used "Street shops", the tattoo shops, the handle a large volume of generic tattoos.
Flash is either produced by the individual tattoo artist for display and use in their own studio and sold or exchanged between other tattoo artist. Hand drawn, local tattoo flash has largely been replaced by professional "artists were lightning-produced prints flash copyright and sold them at conventions or online.
At the turn of the century (2000), most tattoo studios will have their transactions with flash, as a reference for ideas. Most models are introduced a concept created by the tattoo of the customer. Tattoo Flash Recovery is produced. Tattooist single ad in his own studio and will be exchanged or sold to other Tattooo. There are no standard-size for Tattoo Flash, but it is widely used on 11x14-inch displays in North America and the format A3-size paper in Europe. Tattoo flash can or can not with a plan to get known as a line drawing. This pattern is in the rule printed on a sheet journal. This is convenient for the tattoo artists who move to the other lines for themselves.
TLC Spin-off Episode Of “NY INK”
Last night, the most recent episode of TLC spin-off its "ink" series "NY Ink”, was both the metal in particular, and surprisingly emotional thanks to guest star in the episode, Corey Taylor of Slipknot fame / Stone Sour. The singer has enlisted the help of artist Tim Hendricks of the tent of his new work, a memorial tattoo
after its fallen band-member, bassist and friend, Paul Gray. Gray died in May 2010 of a morphine accicdental overdose and their families, other team members and fans were surprised and sense of loss.
While the program usually displays an unfortunate waste amount argument (like the rest of "The reality TV ") among the store employees constantly in trouble, the second half to basics and got to tattoo. Taylor asked for a tattoo is done in the left calf Gray of Slipknot mask sinister-looking and Number 2, representing a place in the band of 9 members. In the middle of the tattoos, the emotional dam Taylor seemed to break - and the singer usually known by his monstrously powerful screams were heard over roar melancholy sobs, beaten by both the angst he feels in his heart and physical pain suffered by the body. Taylor woman
was by her side to comfort him, if it appears to offer little solace for the broken heart of the rocker.
Girls With Dragon Tattoo Poster
Girls With Dragon Tattoo Poster
Rooney Mara has changed completely into his character of Salander his upcoming film "The Girl with the Dragon Tattoo"based on a novel by Stieg Larsson.Risk of film poster has been released and is labeled NSFW (not safe for work) because it shows an naked Photo of Mara, as Daniel Craig has his arm wrapped around topless beauty.
The poster was released after the first trailer for the film was released last week. The trailer officer and a censored version of the bare-it-all shades are available on the website of the film in the States together. The poster censored attempts to cover the breasts of the actress showing the release date text, December 21, covering parties.
David Fincher will direct the film which revolves around a journalist Mikael Blomkvist (Craig), as it is aided in his
looking for a woman who disappeared last forty years by Lisbeth Salander (Mara), a young hacker.
The trailer shows the intense and catchy is sure to create a huge buzz for the film before released december.
Tuesday, June 7, 2011
Opel Tigra Bodykit PHANTOM
VAUXHALL OMEGA B BODY KIT
And UK-TUNING.com stock top styling wide body kits that will fit your Vauxhall Cavalier Mk3. UK-TUNING.com is the best place on the web to buy Vauxhall Cavalier Mk3 styling gear online. UK-TUNING.com Styling has a wide range of modified car parts for Vauxhall Cavalier Mk3 cars
Also UK-TUNING.com provide a huge range of quality car styling ground effects wide body kits for your Vauxhall Corsa B. Buy your Vauxhall Corsa B styling parts from UK-TUNING.com . UK-TUNING.com has a massive range of modified car parts and accessories for Vauxhall Corsa B cars. Buy your Vauxhall Corsa B styling parts and full body kits at UK-TUNING.com .
Searching for Vauxhall performance parts, Vauxhall car bodykits and car styling products online?
Need performance parts for your Vauxhall, and you are searching for Vauxhall wide body kits and Vauxhall car bodykits?
TATA RUANG & KEHIDUPAN SOSIAL
Pendahuluan
Dalam studi-studi ilmu-ilmu sosial, tata ruang sebagai sebuah variabel sering diabaikan dalam pengkajian mengenai tindakan-tindakan sosial dan pola-pola kekuatan manusia. Begitu pula pengkajian hubungan antara kebudayaan dengan tata ruang dan dengan pola kelakuan serta tindakan sosial manusia jarang diperhatikan. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial kini, khususnya dalam Antropologi, kelakuan tidak lagi dilihat semata-mata sebagai hasil kebudayaannya, tetapi sebagai motif dan response terhadap lingkungan yang dihadapi (lingkungan sosial yang dapat berupa pola-pola interaksi, dan sebagainya; lingkungan alam; dan lingkungan fisik), yang perwujudannya dipengaruhi oleh kebudayaannya dan diselimuti oleh simbol-simbol yang bersumber pada kebudayaannya tersebut.
Ceramah ini berisikan uraian pengantar singkat mengenai kaitan hubungan antara kebudayaan, tata ruang, kehidupan sosial, dan masalah-masalah sosial. Besar harapan bahwa ceramah ini akan mendapat merangsang para peserta ceramah untuk turut memikirkan berbagai masalah tata ruang dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam masyarakat-masyarakat Indonesia yang sedang dengan cepat mengalami perubahan karena pembangunan.
Kebudayaan dan Tata Ruang
Tidaklah dapat disangkal akan adanya pengaruh kebudayaan terhadap perwujudan adanya ruangan (space) dimana hubungan-hubungan antar individu dapat diwujudkan dengan tepat sesuai dengan motif dan lingkungan yang dihadapi oleh yang bersangkutan. Hall (1959) telah menunjukkan bagaimana pentingnya peranan pengetahuan tentang kewilayahan (territoriality) yang dipunyai oleh hewan juga terdapat pada manusia dalam wujud jarak (distance), yang bagi manusia sebenarnya merupakan medium komunikasi di antara sesamanya. Dalam tulisan tersebut lebih lanjut ditunjukkan oleh Hall bahwa kebudayaan merupakan landasan bagi terwujudnya pola-pola mengenai tata ruang yang ada pada arsitektur, tata ruang pada umumnya (landscaping), dan pada desain tata kota.
Dalam studinya lebih lanjut mengenai ruang sebagai suatu dimensi yang tersembunyi dalam kebudayaan manusia, Hall (1966) memperlihatkan bahwa manusia hidup dalam ruangan-ruangan dengan tipe-tipe dan ukuran-ukuran tertentu yang tepat sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Salah satu dari ruangan-ruangan, dimana manusia hidup dan memperlihatkan adanya tipe dan ukuran yang tertentu adalah rumah (berikut pekarangannya) tempat manusia tinggal. Di dalam rumah ada pembagian ruangan-ruangan yang tepat sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan. Pada orang Jawa, misalnya, ruangan-ruangan dalam rumah dibagi menurut pola sebagai berikut:
Bagian luar (bagian depan terdiri atas ruangan untuk bercengkerama dan menerima tamu; dan bagian belakang terdiri dari dapur, kamar mandi dan sumur dan bagian paling luar adalah kakus).
Bagian dalam (terdiri atas ruang tengah untuk makan dan kamar-kamar tidur).
Batas-batas antara ruangan-ruangan ini adalah jelas; dan bahkan menurut konsep yang ada dalam kebudayaan orang Jawa, masing-masing ruangan ini mempunyai penunggu-penunggu makhluk halus tertentu sesuai dengan fungsi masing-masing ruangan dan tidak bisa dicampur adukkan yang menunggu dapur, misalnya, dikenal sebagai kyai atau nyai Geseng yang memberi berkah pada dapur; sedangkan yang menunggu tempat-tempat MCK adalah gendruwo. Mengenai pola ideal rumah menurut kepercayaan Jawa, saya persilahkan mempelajarinya dari buku Kitab Bentaljemur Adammakno.
Tata Ruang dan Kesatuan Sosial
Kalau kita melihat rumah sebagai suatu kesatuan tata ruang, kita melihat bahwa rumah bukanlah hanya semata-mata merupakan satuan ruang dengan batas-batas yang jelas dan nyata dapat dilihat dan diraba, tetapi juga merupakan suatu satuan sosial yang mempunyai batas-batas sosial yang jelas. Rumah adalah tempat keluarga melangsungkan kehidupannya, (memenuhi kebutuhan hidupnya) yaitu: mempersiapkan makanan dan minuman, melakukan hiburan dan bersendau gurau, pendidikan anak-anak dan sosialisasi, tempat belajar, tempat beristirahat, tempat berlindung, berkembang biak, melakukan kegiatan MCK, dan juga tempat mengadakan berbagai kegiatan sosial lainnya.
Bahkan juga, rumah dapat dilihat sebagai tempat terwujudnya berbagai situasi sosial dimana interaksi sosial dapat terwujud antara lain dengan adanya ruangan-ruangan yang berfungsi sesuai dengan berbagai kebutuhan manusia, yang fungsi tersebut sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan (Hall, 1977).
Tiga perspektif dalam melihat rumah telah diperlihatkan tersebut di atas, yaitu sebagai suatu tata ruang yang modelnya bersumber pada kebudayaan, sebagai tata ruang yang fungsinya berkaitan erat dengan corak dan pola kesatuan sosial yang hidup di dalamnya, dan sebagai tata ruang yang merupakan medium komunikasi dimana tata ruang tersebut menjadi situasi-situasi sosial dimana interaksi-interaksi dan kegiatan-kegiatan sosial dilakukan.
Ketiga perspektif dalam melihat rumah tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai luas rumah, pembagian rumah dalam ruangan-ruangan, fungsi rumah dan ruangan-ruangan rumah, dan jumlah serta kategori individu yang boleh tinggal di dalamnya, tidaklah sama pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Bahkan dalam satu mayarakat yang dapat digolongkan sebagai mempunyai kebudayaan yang sama, misalnya masyarakat kota dengan kebudayaan kotanya, perbedaan-perbedaan ini tetap ada karena adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dipunyai oleh warga kota yang bersumber pada latar belakang asal kebudayaan (antara lain kebudayaan sukubangsa), tingkat ekonomi, lama tinggal di kota, profesi, dan lingkungan yang dihadapi di kota (termasuk antara lain kepadatan wilayah kota tempat mereka tinggal, pola kebudayaan dan pengelompokan pemukiman di sektor kota tempat mereka tinggal).
Model yang digunakan dalam contoh mengenai rumah tersebut di atas, dapat juga digunakan untuk mengkaji wujud tata ruang lainnya, seperti misalnya, tempat pemukiman, kampung, desa, kota, dan bahkan juga wilayah. Pengkajian tersebut di atas, belum lagi memperhitungkan macam-macam komponen/unsur- unsur yang ada dalam ruangan dan penataan unsur-unsur tersebut sehingga menciptakan suatu ruangan yang sesuai dengan fungsinya bagi situasi-situasi sosia dimana interaksi-interaksi sosial diwujudkan.
Tata Ruang dan Masalah-masalah Sosial
Masalah sosial dapat didefinisikan sebagai suatu gejala sosial yang dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan sebagai sesuatu yang tidak biasa, tidak benar, dan merugikan mereka. Masalah sosial dapat juga dilihat dengan kacamata pengukuran ilmiah sebagai suatu gejala yang merugikan para warga masyarakat walaupun para warga masyarakat tersebut tidak sadar akan hal itu. Biasanya setelah suatu hasil penemuan ilmiah berkenaan dengan gejala sosial yang merugikan warga masyarakat tersebut disebar luaskan di dalam masyarakat yang bersangkutan, barulah para warga masyarakat tersebut sadar akan adanya masalah sosial tersebut.
Kebudayaan selalu berada dalam proses berubah. Perubahan kebudayaan tersebut bersumber pada perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur yang ada dalam eko-sistem, dimana manusia, kebudayaan dan masyarakat merupakan sebagian lain eko-sistem tersebut. Perubahan kebudayaan yang dialami oleh suatu masyarakat biasanya berjalan secara lambat dan bertahap, sehingga perubahan tersebut tidak dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan pada umumnya, sehingga karena itu juga masalah sosial tidak terwujud dalam masyarakat seperti tersebut di atas.
Tetapi dalam keadaan yang khusus, yaitu misalnya, karena dilaksanakannya program pembangunan (yang terwujud dalam bentuk serangkaian usaha untuk menaikkan taraf hidup, baik secara kwalitatif maupun kwantitatif) dalam masyarakat yang bersangkutan, perubahan kebudayaan yang terwujud dapat berjalan dengan amat cepatnya. Dan sebagai hasilnya, juga, berbagai masalah sosial terwujud dan dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karenan hakekat pembangunan itu sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, berarti meningkatkan taraf konsumsi; dan meningkatkan taraf konsumsi harus dipenuhi oleh benda dan jasa. Pemenuhan konsumsi pada benda dan jasa secara kwantitas dan kwalitas hanya dapat dilakukan semaksimal mungkin kalau pengeksploitasian yang semaksimal mungkin juga dilakukan terhadap sumber daya yang ada dalam lingkungan alam, pisik dan terhadap manusia sendiri. Eksploitasi khususnya eksploitasi atas sumber daya alam, menyebabkan terjadinya perubahan dalam tata ruang, yang menyebabakan perubahan pada berbagai sektor kehidupan ekonomi, dan pada pola kehidupan sosial yang sudah ada sebelumnya. Karena tidak semua warga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan, dan bahkan ada yang menjadi korbannya, berbagai masalah sosial terwujud dalam masyarakat (antara lain kejahatan dan pelacuran). Contoh seperti tersebut di atas telah saya perlihatkan dalam laporan pendahuluan studi saya mengenai perubahan lingkungan hidup sosial di Citeureup (1980).
PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG PERKOTAAN BERCIRIKAN LOKAL
PENATAAN RUANG
PERKOTAAN BERCIRIKAN LOKAL
Pergeseran paradigma pembangunan saat ini, dimana daerah diberikan hak otonomi yang luas dalam menyelenggarakan pembangunan di daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada di masing-masing daerah tersebut akan berpengaruh besar terhadap pengembangan dan penataan ruang perkotaan. Perubahan tersebut pada hakekatnya diharapkan dapat memunculkan kreativitas dan innovasi cemerlang dari daerah itu sendiri. Dalam sistem pemerintahan dimasa datang aspirasi daerah mendapat porsi yang lebih besar, dimana sifat keterbukaan yang mendukung terwujudnya pertisipasi aktif masyarakat akan menjadi prasyarat, khususnya dalam melaksanakan penataan ruang perkotaan.
Dalam pelaksanaan penataan ruang yang bercirikan lokal, pendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat perlu dilakukan secara terencana, terpadu, rasional, optimal dan bertanggung jawab sejalan dengan pengelolaannya dikemudian hari. Tatanan daya dukung dan mutu lingkungan serta flora dan fauna yang ada dalam perencanaan perlu diperhitungkan agar fungsi dan daya dukung lingkungan dapat dilestarikan.
Berbicara mengenai tata ruang perkotaan yang bercirikan lokal dan perkembangannya, maka hal utama yang perlu diketahui adalah :
Pengertian konsep penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal
Permasalahan perkembangan dan penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal
Penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal sebagai salah satu solusi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
A. Konsep Pengembangan dan Penataan Ruang Perkotaan yang bercirikan Lokal
Yang dimaksud dengan penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal adalah perencanaan tersebut tidak menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada. Tatanan sosial yang dimaksud meliputi aspek (1) adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat, (2) potensi sumberdaya manusia yang dimiliki, termasuk didalamnya lembaga yang mampu membuat perencanaan tata ruang untuk kotanya.
Pendekatan yang perlu diterapkan adalah memperbaiki tatanan fisik secara dua dimensi dan tiga dimensi dengan memberdayakan tatanan sosial yang sudah ada. Yang dimaksud dengan tatanan fisik 2 dimensi adalah tata ruangnya, sedangkan tatanan fisik di kota tersebut serta penyediaan prasarana dan sarana kota.
Penataan Ruang dilihat dari dimensi manusia
Kegiatan penataan ruang pada hakekatnya sangat terkait erat dengan kondisi sosial dan ekonomi dari penduduknya, pemanfaatan sumberdaya alam yang ada serta pengelolaan lingkungan. Kaitan tersebut berinteraksi dalam berbagai cara dan bergantung pada tempat, waktu, dan budaya masyarakat setempat. Sebaliknya, pola, tingkat dan jenis kegiatan yang ada sangat menentukan kondisi sosial dan ekonomi penduduk. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika kualitas manusia yang ada di suatu daerah/kota baik, maka penataan ruang akan mampu menggali dan mengembangkan nilai tambah yang dimiliki kota tersebut dengan bertolak dari dimensi ruang yang tersedia.
Penataan Ruang dilihat dari dimensi wilayah
Penataan tata ruang perkotaan berkaitan erat dengan upaya pemanfaatan sumberdaya yang ada secara efektif, serta alokasi ruang untuk kegiatan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan alam dan daya tampung lingkungan binaan. Tepatnya dengan tetap memperhatikan sumberdaya manusia serta aspirasi masyarakat setempat. Singkatnya perencanaan tata ruang perkotaan harus dilakukan dengan memperhatikan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial dan interaksi antar lingkungan.
Rencana tata ruang diharapkan mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam.
Aspek-aspek dalam penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal meliputi sebagai berikut :
Letak geografis dan fisik kota. Beberapa kota memiliki tata kota yan spesifik karena letak geografis yang khas seperti kota Pontianak yang terletak tepat di garis katulistiwa; kota-kota yang berbatasan langsung dengan laut seperti DKI Jakarta, Surabaya ; kota-kota yang dilalui oleh sungai besar seperti Palembang, Samarinda, dan seterusnya.
Nilai-nilai sejarah berdirinya suatu kota yang ditandai oleh adanya bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kota tersebut. Seperti penataan kota Semarang dan Jogyakarta diantaranya, dalam tata ruang perkotaannya memperhatikan bangunan-bangunan bersejarah yang ada.
Adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Seperti yang dimiliki oleh kota Jogyakarta, Solo, kota-kota di Pulau Bali, dan seterusnya.
Potensi alam yang dimiliki dan yang dapat dikembangkan. Seperti pada Kota Bandung yang terletak di daerah pegunungan.
Nilai-nilai keagamaan yang kuat dan dapat diperhitungkan dalam penataan ruang perkotaan, seperti pada kota Banda Aceh.
Potensi sumberdaya manusia yang dimiliki (termasuk didalamnya lembaga yang mampu membuat perencanaan perencanaan tata ruang untuk kotannya). Umumnya yang melatarbelakangi penataan kota-kota metropolitan di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya.
B. Permasalahan Pengembangan dan Ruang Perkotaan yang bercirikan Lokal
Sebagaimana yang umum terjadi permasalahan dalam penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal adalah terjadinya penghancuran terhadap tatanan sosial yang sudah ada. Selain itu perkembangan dan penataan ruang kota-kota di Indonesia pada dewasa ini, menunjukan kecendrungan homogenitas yang disebabkan oleh keseragaman dalam membuat rencana tata ruang tanpa melihat bahwa masing-masing kota mempunyai ciri khas sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan :
Adanya kecendrungan untuk mengutamakan efisiensi dalam setiap investasi tanpa memperhitungkan nilai-nilai lain seperti potensi yang ada di daerah tersebut serta keunikan dari tiap-tiap daerah yang dapat dijadikan aset untuk pengembangan kota di masa depan
Kecenderungan homogenitas kota di dorong oleh perwujudan idealisme negara kesatuan, sehingga rencana tata ruang kota di Indonesia harus memperlihatkan ciri kesamaan yang dipandang sebagai cermin dari wujud persatuan
Besarnya peran pemerintah pusat dalam menentukan perencanaan tata ruang daerah, menjadikan produk tata ruang yang dulu sangat homogen
Kurangnya pemanfatan lembaga lokal dalam membuat rencana tata ruang suatu kota juga sangat mempengaruhi terjadinya keseragaman dalam pembuatan rencana tata ruang kota.
Dengan beragamnya kondisi fisik kota dan budaya masyarakat Indonesia, seharusnya permasalahan perbedaan (diversity) atau keaneka-ragaman yang ada di masing-masing daerah dapat menjadi suatu kekuatan dalam melakukan rencana tata ruang yang bercirikan lokal dan bukan menjadi kelemahan, sehingga pola yang digunakan dalam penataan ruang perkotaan yang ada saat ini tidak lagi sama antara satu kota dengan yang lainnya. Disisi lain memang masih diperlukan suatu guidelines dalam membuat rencana tata ruang yang bersifat makro, namun perlu dibedakan apabila sudah menyangkut pembuatan rencana tata ruang yang bersifat detail seperti rencana tata ruang perkotaan.
Perkembangan kota-kota di Indonesia, dapat dilihat dari :
Peranan dan fungsi kota, yang dahulu dualistik sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, kini telah berkembang menjadi pusat informasi, pusat inovasi teknologi dan pusat akumulasi modal. Bahkan lebih jauh lagi, kota telah berperan sebagai pintu gerbang kemakmuran bagi daerah pedesaan. Kota telah menjadi indikator untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Karenanya, paradigma lama bahwa kota merupakan benteng (fungsi kekuasaan) dan fungsi permukiman (fungsi perlindungan), dalam menghadapi era globalisasi sudah harus ditinggalkan.
Perkembangan fisik kota, karena alasan praktis dan efisiensi, telah tumbuh mengikuti perkembangan jalur transfortasi dan dirancang dengan tipe bangunan yang homogen. Model perencanaan tata ruang kota yang disusun dengan kriteria yang seragam, turut mendorong pertumbuhan kota menjadi homogen. Padahal sesungguhnya, rancang bangun kota pantai (coastal city) tidak harus sama dengan kota gunung (inland city). Pola perkembangan fisik kota yang demikian, untuk masa depan sudah harus ditinggalkan. Karenanya perlu dicari model-model rancang bangun kota yang mengacu pada kondisi fisik wilayah dan bersumber pada akar budaya masyarakat setempat. Ini menjadi paradigma baru dimasa mendatang dan dapat disebut sebagai model rancang bangun yang bernuansa lokal.
Pergeseran nilai-nilai sosial budaya masyarakat perkotaan, cenderung mengarah pada budaya individualistis. Hal ini sering tidak dapat dihindari karena adanya pengaruh dari luar yang berakulturasi dengan nilai yang mentradisi dan berkembang menjadi nilai-nilai sosial yang baru. Pergeseran nilai-nilai ini perlu dikendalikan untuk mencegah lunturnya semangat gotong royong dan paguyuban yang menjadi akar dari falsafah kehidupan bermasyarakat Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, paradigma baru pembangunan masyarakat perkotaan dimasa datang perlu dikendalikan melalui perkuatan jatidiri dan falsafah hidup masyarakat setempat.
C. Penataan Ruang Perkotaan Bercirikan Lokal sebagai salah satu solusi Dalam Rangka Otonomi Daerah
Dengan adanya UU No.22 dan 25 tahun 1999 pelaksanaan penataan ruang perkotaan di Indonesia diharapkan tidak lagi sama, dan lebih bervariasi sesuai dengan potensi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia) serta keunikan yang ada di daerah tersebut. Dengan kata lain, pengembangan dan penataan ruang perkotaan yang akan datang hendaknya bercirikan lokal.
Pelaksanaan tata ruang kota bercirikan lokal akan menjadi dasar yang penting untuk membangun masa depan perkotaan yang lebih terarah dan konkrit. Beberapa aspek yang akan mendasari pelaksanaan pembangunan perkotaan dimasa depan adalah :
Penghargaan terhadap nilai-nilai sejarah berdirinya kota yang kemudian sekaligus dilestarikan.
Penggalian potensi kebhinekaan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dimana masing-masing kota memiliki sumberdaya internal yang perlu dikembangkan.
Mendorong perwujudan otonomi daerah yang lebih nyata.
Mengantisipasi pengaruh globalisasi, karena suatu kota yang tidak bercirikan lokal akan terbawa arus globalisasi.
Memberdayakan sumberdaya lokal maupun lembaga lokal dalam membuat rencana tata ruang kota untuk daerahnya.
Sebagai catatan bahwa penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal akan berhasil apabila :
Menghargai ciri lokal dari daerah lainnya, sehingga daerah-daerah di suatu kota akan selalu saling bergantungan satu dengan lainnya.
Melibatkan peran aktif ketiga aktor pembangunan dalam melakukan kemitraan. Ini merupakankunci keberhasilan pelaksanaan penataan ruang bercirikan lokal.
Menetapkan visi dan misi kota dalam pembangunan yang akan sangat besar berpengaruh bagi tercapainya penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal di Indonesia.
FILOSOFI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MASYARAKAT.
Pada tahun 1994 UNCHS di Nairobi mendeklarasikan The New Planning Paradigm, yang pada intinya adalah bahwa dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan kota harus melalui/mempertimbangkan community-perticipation, involvement of all interest groups, horizontal and vertical coordination, sustainability, financial-feasibility, subsidiary and interaction of physical and economic planning. Penjabaran dari deklarasi dunia ini oleh masing-masing negara diadopsi dengan konsensus bahwa "masyarakat" lah yang menjadi target program-program publik. Siapa yang akan terpengaruh langsung oleh perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan berhak memberikan share dalam keputusan-keputusan yang diterbitkan. Hal ini dilatar-belakangi kekurang-berhasilan system perencanaan nasional dan komprehensif yang penyusunannya didominasi pemerintah. Dalam perjalanan sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan kawasan, munculnya berbagai pendekatan dengan terminology baru seperti bottom-up planning, participatory planning, democratic planning, grass root planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan sebagainya menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar yaitu dalam suatu demokrasi anggota masyarakat harus memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka.
John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai planning sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan social dan proses transformasi social. Dikaitkan dengan kelembagaan, system perencanaan diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Perencanaan sebagai Social Reform. Dalam system perencanaan ini, peran Pemerintah sangat dominan, sifat perencanaan : centralized, for people, top-down, berjenjang dan dengan politik terbatas.
2. Perencanaan sebagai Policy Analysis. Dalam system perencanaan ini, Pemerintah bersama stakeholders memutuskan persoalan dan menyusun alternatif kebijakan. Sifat perencanaan ini decentralized, with people, scientific, dan dengan politik terbuka.
3. Perencanaan sebagai social learning. Dalam system perencanaan ini Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan learning by doing, decentralized, by people, bottom-up, dan dengan politik terbuka.
4. Perencanaan sebagai social Transformation. Perencanaan ini merupakan kristalisasi politik yang didasarkan pada ideology 'kolektivisme komunitarian'.
Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam social learning.
Ada dua rational kunci bagi peran serta masyarakat, yaitu :
1. Etika, yaitu bahwa di dalam masyarakat demokratik, mereka yang kehidupan, lingkungan dan penghidupannya dipertaruhkan sudah seharusnya dikonsultasikan dan dilibatkan dalam keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi mereka secara langsung.
2. Pragmatis, yaitu atas program dan kebijakan seringkali tergantung kepada kesediaan orang membantu kesuksesan program atau kebijakan tersebut.
Peran serta dalam hal ini diterjemahkan dan asal kata participation, yang diantaranya mempertimbangkan pendapat, mengartikan secara singkat bahwa partisipasi itu adalah take a part atau ikut serta. Peran serta masyarakat dengan keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan (dalam perencanaan) atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut di Inggris/Britania Raya lebih populer dengan istilah public participation, sedangkan di Amerika Serikat disebut dengan citizen participation, namun keduanya mengandung makna yang sama. Citizen participation didefinisikan sebagai proses yang memberikan peluang bagi masyarakat (citizens). Oleh karena itu, suatu peran serta memer;ukan kesediaan kedua belah pihak dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Adapun tujuan peran serta masyarakat yang ingin dicapai, pada prinsipnya harus pula dikondisikan suatu situasi dimana timbul keinginan masyarakat untuk berperan serta. Hal ini akan sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan peran serta masyarakat itu sediri. Pengkondisian tersebut harus mengarah kepada timbulnya peran serta bebas dan mengeliminir sebanyak mungkin peran serta terpaksa'. Peran serta bebas terjadi bila seorang individu melibatkan dirinya secara sukarela di dalam suatu kegiatan partisipatif tertentu, walaupun dalam klarifikasi ini masih dapat dibagi ke dalam :
- Peran serta spontan (keyakinan sendiri kehendak murni tanpa melalui penyuluhan/ajakan), dan
- Peran serta masyarakat terbujuk.
Peran serta terpaksa, dilakukan karena dua hal yaitu terpaksa oleh hukum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang mewajibkannya, dan terpaksa oleh tekanan situasi dan kondisi sosial ekonomi. Peran serta masyarakat memiliki keuntungan sosial, politik, planning dan keuntungan lainnya, yaitu :
• Dari pandangan sosial, keuntungan utamanya adalah untuk mengaktifkan populasi perkotaan yang cenderung individualistik, tidak punya komitmen dan dalam kasus yang ekstrim teralienasi. Di dalam proses partisipasi ini, secara simultan mempromosikan semangat komunitas dan rasa kerja sama dan keterlibatan. Pada kasus kelompok miskin dan lemah, partisipasi dapat berkontribusi ke proses peningkatan, pendidikan, dan pelatihan sebagai penyatuan (integrasi) ke dalam komunitas yang lebih luas yang di dalamnya rasa ketidakberdayaan (powelessness) dapat ditanggulangi dan swadaya (self-help) dan pembangunan kepemimpinan dapat dipromosikan.
• Dari segi politik, partisipasi lebih mempromosikan participatory dibanding demokrasi perwakilan (representative democracy) sebagai hak demokrasi dan setiap orang dan dengan demikian publik secara umum, untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik juga akan membantu dewan (counsellors) dan para pembuat keputusan lainnya untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai permintaan-permintaan dan aspirasi konstituen mereka atau semua pihak yang akan terpengaruh, dan sensitivitas pembuatan keputusan dapat dimaksimalkan jika ditangani secara tepat.
• Dan segi planning partisipasi menyediakan sebuah forum untuk saling tukar gagasan dan prioritas, penilaian akan public interest dalam dinamikanya serta diterimanya proposal-proposal perencanaan.
• Keuntungan lain dan public participation adalah kemungkinan tercapainya hubungan yang lebih dekat antara warga dengan otoritas kota dan menggantikan perilaku they/we menjadi perilaku us.
Banyak faktor yang menjadi hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam perencanaan. Peran serta masyarakat dalam sistem perencanaan dihadapkan pada berbagai persoalan, baik pada level negara bagian maupun lokal. Hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam penataan ruang (Donald Perlgut) yaitu :
1. Partisipasi dalam proses perencanaan lokal umumnya dimulai sangat terlambat, yaitu setelah rencana (the real planning directions) telah selesai disusun, sehingga masyarakat akhirnya hanya mempertanyakan hal-hal bersifat detail.
2. Partisipasi komunitas yang sungguh-sungguh sangat sedikit apalagi mengenai isu-isu besar seperti pertumbuhan dan pembangunan kota.
3. Ketika partisipasi tersebut benar-benar diinginkan, terlalu sedikit masyarakat yang terorganisasi atau yang terstruktur secara mapan yang efektif mengajukan masukan dan komunitas.
4. Pemerintah negara bagian maupun pemerintah lokal (kota), jika memang ingin, mampu menghindari peran serta masyarakat, dengan membuat keputusan-keputusan secara rahasia atau dengan menyediakan waktu yang tidak memadai untuk public discussion. Bahkan dengan peraturan (legislation) yang baik seperti di New South Wales, Environmental Planning and Assessment (EPA) Act (1979) dapat diabaikan atau dielakkan oleh peraturan baru.
5. Secara umum, komunitas tidak memiliki sumberdaya yang baik dalam hal waktu, keahlian atau ruang untuk membuat aspirasinya didengar secara efektif.
Pengaruh Arsitektur Lokal Bangunan Gereja di Bali
Arsitektur sangat dipengaruhi oleh letak geografis, geologis, topografi, iklim, hingga sikap dan perilaku yang terangkum dalam kebudayaan. Bagaimanakah agama memperlakukan bangunan atau sealiknya? Ternyata arsitektur mampu menembus bukan hanya batas ruang dan waktu belaka, juga sanggup menjadi duta dan perekat ideologi dan kepercayaan. Dengan demikian, para arsitek sebagai duta budaya dengan segenap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hendaknya mampu menunjukkan independensinya.
AWALNYA tidak dikenal aturan ataupun ketentuan tentang seperti apa harusnya bangunan ibadah bagi umat kristiani. Pemilihan gedung Basilica dapat menampung banyak orang, memiliki tata akustik yang sangat baik (tidak menggema), serta ruang dalam bangunannya memiliki skala atau efek psikologis menekan ego manusia sehingga Tuhan menjadi sakral, suci, agung, magis, dan pasti religius. Bagi yang berkiblat ke Vatikan maka konsili Vatikan merupakan atau memberikan peluang seluas-luasnya bagi lokal jenius untuk tumbuh dan berkembang, misalnya dalam hal arsitektur.
Sedangkan bagi yang lainnya melalui peraturan daerah No. 2, 3, dan 4 tahun 1974 menampilkan citra Bali-nya. Ataupun juga dengan sengaja mengangkat tema arsitektur Vernacular, Neo Vernacular, Regional Arsitektur, dan lainnya dengan sangat kreatif namun terkadang terkesan eklektif dan kurang normatif.
Arsitektur adalah upaya pencairan yang tidak pernah berakhir, dia berkelanjutan berputar sehingga kenangan masa lalu (nostalgia) dapat tampil kembali secara utuh maupun dengan beberapa perubahan. Di arsitektur barat, kerinduan masa lalu dikenal sebagai arsitektur klasik yaitu masa arsitektur Yunani dan Romawi. Di Bali, dimana perjalanan arsitekturnya tidak sepanjang di negeri barat, maka arsitektur klasiknya dapat disebutkan sebagai arsitektur tradisional Bali dataran dengan pola sanga mandala dengan natah sebagai pusatnya. Kerinduan masyarakatnya terhadap keindahan, keagungan, dan kebesaran masa lalu dalam menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia, dan Tuhan-nya yang dikenal sebagai Tri Hita Karana menyebabkan filosofi tersebut menjadi super-struktur dalam segala kiprah kehidupan dan penghidupannya, termasuk arsitektur.
Asimilasi, akulturasi, ataupun adaptasi adalah suatu dinamika yang berlangsung secara evolusi maupun revolusi dalam hubungan sosial kemasyarakatan untuk dapat hidup berdampingan secara penuh cinta-kasih dalam kebersamaan, kesetaraan, dan lainnya yang akhirnya bermuara pada pencampuran, penyatuan, saling-silang pengaru, maupun melahirkan keunikan dalam hal kebudayan termasuk arsitektur.
Gereja di Bali
Adanya bangunan ibadah bagi umat Kristiani di Bali tentunya karena komunitas yang ada membutuhkan wadah tersebut. Misionaris yang tercatat ke Bali pada 11 September 1935 adalah PJ Kersten, SVD yang selanjutnya disusul oleh rekan-rekannya. Pemberkatan gereja katolik pertama berlangsung di Banjar Tuka, Desa Dalung-Badung pada 14 Februari 1937. Dalung di Badung dan Gumbrih di Jembrana merupakan pusat umat Kristiani ketika itu. Dengan adanya bangunan gereja saat itu, berarti menambah perbendaharaan masyarakat Bali terhadap bangunan tersebut dalam katalog arsitekturnya.
Beberapa bangunan yang telah terbangun sampai dengan saat ini masih berada pada bentuk dasar linier yang dipakai pada Basilica, bentuk dasar salib Yunani dan Romawi (lihat gambar). Ketiga bentuk dasar yang ditransformasikan ke dalam denah bangunan gereja di Bali didisain dengan kreatif melalui perpaduan tuntutan fungsi, kearifan lokal, peraturan/persyaratan yang ada menjadi beraneka wujud yang sekaligus menjadi identitas komunitasnya. Teori arsitektur menyebutkan bahwa untuk bangunan dengan fungsi religius harus memenuhi kaidah-kaidah antara lain: di luar skala manusia ditampilkan melalui ketinggian bangunan (batasan sesuai perda adalah 15 meter), sosok bangunannya meruncing ke atas dengan bentuk-bentuk segitiga, kemegahan (melalui dimensi dan bahan), kewibawaan (melalui bentuk simetris, seimbang, dan pengulangan), dan lainnya yang dirancang sejak dalam pengolahan site, tampak bangunan, ruang dalam maupun ruang luar, struktur, bahan, serta ornamennya.
Dua buah gereja yang menurut penulis sangat kental dengan nuansa arsitektur lokal (Bali) adalah Gereja Katolik Hati Kudus Jesus di Desa Palasari, Jembrana, yang bergaya paduan arsitektur Bali (timur) dengan Gothjik (barat) yang dibangun pada 1954 dan selesai pada 13 Desember 1958. Pada 1992 hingga 1994, gereja ini direnovasi dengan melibatkan arsitek lokal Ida Bagus Tugur. Bentuk dasar denahnya adalah salib Romawi, dengan atap bertingkat -- pada titik pertemuan silangnya menyerupai meru dan yang di tengah-tengah dipasang atap bertingkat tiga yang meruncing ke atas, menggunakan ornamen dengan tata rias Bali, serta dilengkapi dengan tujuh buah menara. Jumlah menara ini memiliki makna sekaligus merupakan analogi simbol dari tujuh Karunia Roh Kudus atau Sakramen yaitu permandian, Krisna, tobat, ekaristi, minyak suci, perkawinan, dan imamat. Di bagian ruang luar dijumpai adanya pagar dan candi bentar Bali, demikian juga pada ruang dalamnya mengunakan unsur-unsur dekorasi yang bernafaskan Bali. Kemudian Gereja Katolik Paroki St. Yoseph di Jalan Kepundung Denpasar. Arsitektur Gereja St. Yoseph atas dasar pendekatan hermeneutic merupakan hasil perkawinan, penyatuan, dari arsitektur barat yang bernuansa Romanika Itali Utara (dengan menambahkan bangunan/emperan di depan pintu utama bangunan), Gothik Belanda/Belgia (lihat jendela depan, letak pintu atau orientasi ke arah barat, serta menaranya). Sedangkan dari unsur lokalnya tampak terlihat dari bahan dekorasi fasade dari bata dan paras Bali, menggunakan bentuk bangunan meru, bale kulkul dan kori yang dijadikan satu kesatuan. Unggulan dari ciri barat (Gothik) dan timur (tradisi) dijadikan satu sehingga menampilkan sosok arsitektur yang unik.
Tampaknya, arsitektur gereja Katolik di Bali seperti contoh diatas adalah yang dipayungi oleh Konsili Vatikan dapat dengan bebas bermain pada khasanah kedaerahan. Itulah sebabnya arsitektur Bali khususnya pada bentuk dan bahan mendapat porsi yang utama pada Gereja Hati Kudus Jesus di Palasari, Jembrana, dan St. Joseph di Jalan Kepundung Denpasar. Kemampuannya untuk berasimilasi sangat tinggi untuk kemudian beradaptasi dan akhirnya diterima menjadi bagian dan milik masyarakat.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh para arsitek untuk bangunan gereja di Bali agar bernuansa lokal karena dikehendaki oleh Perda No. 2, 3, dan 4, tahun 1974 antara lain tampak pada karya gereja di Jalan Debes Denpasar dan Gereja Bukit Doa di Nusa Dua. Gereja di Jalan Debes tampaknya juga mengambil analogi bangunan tradisi meru, sedangkan yang di Nusa Dua, disamping mengambil bentuk meru dengan denah berbentuk salib Yunani, puncak meru-nya seolah-olah kubah lancip yang mencerminkan keagungan, juga ditambahkan menara dengan mengadopsi bentuk bale kulkul sebagai tengeran lengkap dengan loncengnya.
Dari kajian singkat tentang empat objek gereja yang dianggap atau diasumsikan mewakili gereja di Bali dapat disimpulkan bahwa kelompok bangunan gereja yang menganut Konsili Vatikan seperti Gereja Hati Kudus Jesus dan St. Joseph berupaya semaksimal mungkin mengedepankan arsitektur lokal. Artinya, arsitektur klasik (tradisi) diberikan tempat utama dan terhormat sehingga terkesan merupakan penjabaran tema vernacular maupun regional. Sedangkan bagi dua contoh lainnya yaitu gereja di Jalan Debes Denpasar dan Gereja Bukit Doa di Nusa Dua, Badung, juga mencoba memasukkan unsur lokal (tradisi) dalam kekiniannya sebagai upaya menterjemahkan masa lalu atau lokal dalam kekiniannya (modern) atau baru yang dikenal dengan sebutan arsitektur Neo Vernacular.
Dekorasi ruang dalam hampir sebagian besar diantara gereja tersebut menggunakan citra arsitektur lokal dalam hal bentuk, bahan, ornamen, dan lainnya apakah dalam wujud candi bentar, panil, dudukan patung, hingga pintu.