Showing posts with label PERKOTAAN DAN LANSEKAP. Show all posts
Showing posts with label PERKOTAAN DAN LANSEKAP. Show all posts

Tuesday, June 7, 2011

TATA RUANG & KEHIDUPAN SOSIAL

TATA RUANG, KEHIDUPAN SOSIAL, DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL*)


Pendahuluan

Dalam studi-studi ilmu-ilmu sosial, tata ruang sebagai sebuah variabel sering diabaikan dalam pengkajian mengenai tindakan-tindakan sosial dan pola-pola kekuatan manusia. Begitu pula pengkajian hubungan antara kebudayaan dengan tata ruang dan dengan pola kelakuan serta tindakan sosial manusia jarang diperhatikan. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial kini, khususnya dalam Antropologi, kelakuan tidak lagi dilihat semata-mata sebagai hasil kebudayaannya, tetapi sebagai motif dan response terhadap lingkungan yang dihadapi (lingkungan sosial yang dapat berupa pola-pola interaksi, dan sebagainya; lingkungan alam; dan lingkungan fisik), yang perwujudannya dipengaruhi oleh kebudayaannya dan diselimuti oleh simbol-simbol yang bersumber pada kebudayaannya tersebut.

Ceramah ini berisikan uraian pengantar singkat mengenai kaitan hubungan antara kebudayaan, tata ruang, kehidupan sosial, dan masalah-masalah sosial. Besar harapan bahwa ceramah ini akan mendapat merangsang para peserta ceramah untuk turut memikirkan berbagai masalah tata ruang dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam masyarakat-masyarakat Indonesia yang sedang dengan cepat mengalami perubahan karena pembangunan.

Kebudayaan dan Tata Ruang

Tidaklah dapat disangkal akan adanya pengaruh kebudayaan terhadap perwujudan adanya ruangan (space) dimana hubungan-hubungan antar individu dapat diwujudkan dengan tepat sesuai dengan motif dan lingkungan yang dihadapi oleh yang bersangkutan. Hall (1959) telah menunjukkan bagaimana pentingnya peranan pengetahuan tentang kewilayahan (territoriality) yang dipunyai oleh hewan juga terdapat pada manusia dalam wujud jarak (distance), yang bagi manusia sebenarnya merupakan medium komunikasi di antara sesamanya. Dalam tulisan tersebut lebih lanjut ditunjukkan oleh Hall bahwa kebudayaan merupakan landasan bagi terwujudnya pola-pola mengenai tata ruang yang ada pada arsitektur, tata ruang pada umumnya (landscaping), dan pada desain tata kota.

Dalam studinya lebih lanjut mengenai ruang sebagai suatu dimensi yang tersembunyi dalam kebudayaan manusia, Hall (1966) memperlihatkan bahwa manusia hidup dalam ruangan-ruangan dengan tipe-tipe dan ukuran-ukuran tertentu yang tepat sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Salah satu dari ruangan-ruangan, dimana manusia hidup dan memperlihatkan adanya tipe dan ukuran yang tertentu adalah rumah (berikut pekarangannya) tempat manusia tinggal. Di dalam rumah ada pembagian ruangan-ruangan yang tepat sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan. Pada orang Jawa, misalnya, ruangan-ruangan dalam rumah dibagi menurut pola sebagai berikut:

Bagian luar (bagian depan terdiri atas ruangan untuk bercengkerama dan menerima tamu; dan bagian belakang terdiri dari dapur, kamar mandi dan sumur dan bagian paling luar adalah kakus).
Bagian dalam (terdiri atas ruang tengah untuk makan dan kamar-kamar tidur).
Batas-batas antara ruangan-ruangan ini adalah jelas; dan bahkan menurut konsep yang ada dalam kebudayaan orang Jawa, masing-masing ruangan ini mempunyai penunggu-penunggu makhluk halus tertentu sesuai dengan fungsi masing-masing ruangan dan tidak bisa dicampur adukkan yang menunggu dapur, misalnya, dikenal sebagai kyai atau nyai Geseng yang memberi berkah pada dapur; sedangkan yang menunggu tempat-tempat MCK adalah gendruwo. Mengenai pola ideal rumah menurut kepercayaan Jawa, saya persilahkan mempelajarinya dari buku Kitab Bentaljemur Adammakno.

Tata Ruang dan Kesatuan Sosial

Kalau kita melihat rumah sebagai suatu kesatuan tata ruang, kita melihat bahwa rumah bukanlah hanya semata-mata merupakan satuan ruang dengan batas-batas yang jelas dan nyata dapat dilihat dan diraba, tetapi juga merupakan suatu satuan sosial yang mempunyai batas-batas sosial yang jelas. Rumah adalah tempat keluarga melangsungkan kehidupannya, (memenuhi kebutuhan hidupnya) yaitu: mempersiapkan makanan dan minuman, melakukan hiburan dan bersendau gurau, pendidikan anak-anak dan sosialisasi, tempat belajar, tempat beristirahat, tempat berlindung, berkembang biak, melakukan kegiatan MCK, dan juga tempat mengadakan berbagai kegiatan sosial lainnya.

Bahkan juga, rumah dapat dilihat sebagai tempat terwujudnya berbagai situasi sosial dimana interaksi sosial dapat terwujud antara lain dengan adanya ruangan-ruangan yang berfungsi sesuai dengan berbagai kebutuhan manusia, yang fungsi tersebut sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan (Hall, 1977).

Tiga perspektif dalam melihat rumah telah diperlihatkan tersebut di atas, yaitu sebagai suatu tata ruang yang modelnya bersumber pada kebudayaan, sebagai tata ruang yang fungsinya berkaitan erat dengan corak dan pola kesatuan sosial yang hidup di dalamnya, dan sebagai tata ruang yang merupakan medium komunikasi dimana tata ruang tersebut menjadi situasi-situasi sosial dimana interaksi-interaksi dan kegiatan-kegiatan sosial dilakukan.

Ketiga perspektif dalam melihat rumah tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai luas rumah, pembagian rumah dalam ruangan-ruangan, fungsi rumah dan ruangan-ruangan rumah, dan jumlah serta kategori individu yang boleh tinggal di dalamnya, tidaklah sama pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Bahkan dalam satu mayarakat yang dapat digolongkan sebagai mempunyai kebudayaan yang sama, misalnya masyarakat kota dengan kebudayaan kotanya, perbedaan-perbedaan ini tetap ada karena adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dipunyai oleh warga kota yang bersumber pada latar belakang asal kebudayaan (antara lain kebudayaan sukubangsa), tingkat ekonomi, lama tinggal di kota, profesi, dan lingkungan yang dihadapi di kota (termasuk antara lain kepadatan wilayah kota tempat mereka tinggal, pola kebudayaan dan pengelompokan pemukiman di sektor kota tempat mereka tinggal).

Model yang digunakan dalam contoh mengenai rumah tersebut di atas, dapat juga digunakan untuk mengkaji wujud tata ruang lainnya, seperti misalnya, tempat pemukiman, kampung, desa, kota, dan bahkan juga wilayah. Pengkajian tersebut di atas, belum lagi memperhitungkan macam-macam komponen/unsur- unsur yang ada dalam ruangan dan penataan unsur-unsur tersebut sehingga menciptakan suatu ruangan yang sesuai dengan fungsinya bagi situasi-situasi sosia dimana interaksi-interaksi sosial diwujudkan.

Tata Ruang dan Masalah-masalah Sosial

Masalah sosial dapat didefinisikan sebagai suatu gejala sosial yang dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan sebagai sesuatu yang tidak biasa, tidak benar, dan merugikan mereka. Masalah sosial dapat juga dilihat dengan kacamata pengukuran ilmiah sebagai suatu gejala yang merugikan para warga masyarakat walaupun para warga masyarakat tersebut tidak sadar akan hal itu. Biasanya setelah suatu hasil penemuan ilmiah berkenaan dengan gejala sosial yang merugikan warga masyarakat tersebut disebar luaskan di dalam masyarakat yang bersangkutan, barulah para warga masyarakat tersebut sadar akan adanya masalah sosial tersebut.

Kebudayaan selalu berada dalam proses berubah. Perubahan kebudayaan tersebut bersumber pada perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur yang ada dalam eko-sistem, dimana manusia, kebudayaan dan masyarakat merupakan sebagian lain eko-sistem tersebut. Perubahan kebudayaan yang dialami oleh suatu masyarakat biasanya berjalan secara lambat dan bertahap, sehingga perubahan tersebut tidak dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan pada umumnya, sehingga karena itu juga masalah sosial tidak terwujud dalam masyarakat seperti tersebut di atas.

Tetapi dalam keadaan yang khusus, yaitu misalnya, karena dilaksanakannya program pembangunan (yang terwujud dalam bentuk serangkaian usaha untuk menaikkan taraf hidup, baik secara kwalitatif maupun kwantitatif) dalam masyarakat yang bersangkutan, perubahan kebudayaan yang terwujud dapat berjalan dengan amat cepatnya. Dan sebagai hasilnya, juga, berbagai masalah sosial terwujud dan dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karenan hakekat pembangunan itu sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, berarti meningkatkan taraf konsumsi; dan meningkatkan taraf konsumsi harus dipenuhi oleh benda dan jasa. Pemenuhan konsumsi pada benda dan jasa secara kwantitas dan kwalitas hanya dapat dilakukan semaksimal mungkin kalau pengeksploitasian yang semaksimal mungkin juga dilakukan terhadap sumber daya yang ada dalam lingkungan alam, pisik dan terhadap manusia sendiri. Eksploitasi khususnya eksploitasi atas sumber daya alam, menyebabkan terjadinya perubahan dalam tata ruang, yang menyebabakan perubahan pada berbagai sektor kehidupan ekonomi, dan pada pola kehidupan sosial yang sudah ada sebelumnya. Karena tidak semua warga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan, dan bahkan ada yang menjadi korbannya, berbagai masalah sosial terwujud dalam masyarakat (antara lain kejahatan dan pelacuran). Contoh seperti tersebut di atas telah saya perlihatkan dalam laporan pendahuluan studi saya mengenai perubahan lingkungan hidup sosial di Citeureup (1980).

PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG PERKOTAAN BERCIRIKAN LOKAL

PENGEMBANGAN DAN
PENATAAN RUANG
PERKOTAAN BERCIRIKAN LOKAL

Pergeseran paradigma pembangunan saat ini, dimana daerah diberikan hak otonomi yang luas dalam menyelenggarakan pembangunan di daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada di masing-masing daerah tersebut akan berpengaruh besar terhadap pengembangan dan penataan ruang perkotaan. Perubahan tersebut pada hakekatnya diharapkan dapat memunculkan kreativitas dan innovasi cemerlang dari daerah itu sendiri. Dalam sistem pemerintahan dimasa datang aspirasi daerah mendapat porsi yang lebih besar, dimana sifat keterbukaan yang mendukung terwujudnya pertisipasi aktif masyarakat akan menjadi prasyarat, khususnya dalam melaksanakan penataan ruang perkotaan.

Dalam pelaksanaan penataan ruang yang bercirikan lokal, pendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat perlu dilakukan secara terencana, terpadu, rasional, optimal dan bertanggung jawab sejalan dengan pengelolaannya dikemudian hari. Tatanan daya dukung dan mutu lingkungan serta flora dan fauna yang ada dalam perencanaan perlu diperhitungkan agar fungsi dan daya dukung lingkungan dapat dilestarikan.

Berbicara mengenai tata ruang perkotaan yang bercirikan lokal dan perkembangannya, maka hal utama yang perlu diketahui adalah :


Pengertian konsep penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal
Permasalahan perkembangan dan penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal
Penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal sebagai salah satu solusi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
A. Konsep Pengembangan dan Penataan Ruang Perkotaan yang bercirikan Lokal

Yang dimaksud dengan penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal adalah perencanaan tersebut tidak menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada. Tatanan sosial yang dimaksud meliputi aspek (1) adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat, (2) potensi sumberdaya manusia yang dimiliki, termasuk didalamnya lembaga yang mampu membuat perencanaan tata ruang untuk kotanya.

Pendekatan yang perlu diterapkan adalah memperbaiki tatanan fisik secara dua dimensi dan tiga dimensi dengan memberdayakan tatanan sosial yang sudah ada. Yang dimaksud dengan tatanan fisik 2 dimensi adalah tata ruangnya, sedangkan tatanan fisik di kota tersebut serta penyediaan prasarana dan sarana kota.

Penataan Ruang dilihat dari dimensi manusia

Kegiatan penataan ruang pada hakekatnya sangat terkait erat dengan kondisi sosial dan ekonomi dari penduduknya, pemanfaatan sumberdaya alam yang ada serta pengelolaan lingkungan. Kaitan tersebut berinteraksi dalam berbagai cara dan bergantung pada tempat, waktu, dan budaya masyarakat setempat. Sebaliknya, pola, tingkat dan jenis kegiatan yang ada sangat menentukan kondisi sosial dan ekonomi penduduk. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika kualitas manusia yang ada di suatu daerah/kota baik, maka penataan ruang akan mampu menggali dan mengembangkan nilai tambah yang dimiliki kota tersebut dengan bertolak dari dimensi ruang yang tersedia.

Penataan Ruang dilihat dari dimensi wilayah

Penataan tata ruang perkotaan berkaitan erat dengan upaya pemanfaatan sumberdaya yang ada secara efektif, serta alokasi ruang untuk kegiatan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan alam dan daya tampung lingkungan binaan. Tepatnya dengan tetap memperhatikan sumberdaya manusia serta aspirasi masyarakat setempat. Singkatnya perencanaan tata ruang perkotaan harus dilakukan dengan memperhatikan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial dan interaksi antar lingkungan.

Rencana tata ruang diharapkan mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam.

Aspek-aspek dalam penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal meliputi sebagai berikut :


Letak geografis dan fisik kota. Beberapa kota memiliki tata kota yan spesifik karena letak geografis yang khas seperti kota Pontianak yang terletak tepat di garis katulistiwa; kota-kota yang berbatasan langsung dengan laut seperti DKI Jakarta, Surabaya ; kota-kota yang dilalui oleh sungai besar seperti Palembang, Samarinda, dan seterusnya.
Nilai-nilai sejarah berdirinya suatu kota yang ditandai oleh adanya bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kota tersebut. Seperti penataan kota Semarang dan Jogyakarta diantaranya, dalam tata ruang perkotaannya memperhatikan bangunan-bangunan bersejarah yang ada.
Adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Seperti yang dimiliki oleh kota Jogyakarta, Solo, kota-kota di Pulau Bali, dan seterusnya.
Potensi alam yang dimiliki dan yang dapat dikembangkan. Seperti pada Kota Bandung yang terletak di daerah pegunungan.
Nilai-nilai keagamaan yang kuat dan dapat diperhitungkan dalam penataan ruang perkotaan, seperti pada kota Banda Aceh.
Potensi sumberdaya manusia yang dimiliki (termasuk didalamnya lembaga yang mampu membuat perencanaan perencanaan tata ruang untuk kotannya). Umumnya yang melatarbelakangi penataan kota-kota metropolitan di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya.
B. Permasalahan Pengembangan dan Ruang Perkotaan yang bercirikan Lokal

Sebagaimana yang umum terjadi permasalahan dalam penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal adalah terjadinya penghancuran terhadap tatanan sosial yang sudah ada. Selain itu perkembangan dan penataan ruang kota-kota di Indonesia pada dewasa ini, menunjukan kecendrungan homogenitas yang disebabkan oleh keseragaman dalam membuat rencana tata ruang tanpa melihat bahwa masing-masing kota mempunyai ciri khas sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan :


Adanya kecendrungan untuk mengutamakan efisiensi dalam setiap investasi tanpa memperhitungkan nilai-nilai lain seperti potensi yang ada di daerah tersebut serta keunikan dari tiap-tiap daerah yang dapat dijadikan aset untuk pengembangan kota di masa depan
Kecenderungan homogenitas kota di dorong oleh perwujudan idealisme negara kesatuan, sehingga rencana tata ruang kota di Indonesia harus memperlihatkan ciri kesamaan yang dipandang sebagai cermin dari wujud persatuan
Besarnya peran pemerintah pusat dalam menentukan perencanaan tata ruang daerah, menjadikan produk tata ruang yang dulu sangat homogen
Kurangnya pemanfatan lembaga lokal dalam membuat rencana tata ruang suatu kota juga sangat mempengaruhi terjadinya keseragaman dalam pembuatan rencana tata ruang kota.
Dengan beragamnya kondisi fisik kota dan budaya masyarakat Indonesia, seharusnya permasalahan perbedaan (diversity) atau keaneka-ragaman yang ada di masing-masing daerah dapat menjadi suatu kekuatan dalam melakukan rencana tata ruang yang bercirikan lokal dan bukan menjadi kelemahan, sehingga pola yang digunakan dalam penataan ruang perkotaan yang ada saat ini tidak lagi sama antara satu kota dengan yang lainnya. Disisi lain memang masih diperlukan suatu guidelines dalam membuat rencana tata ruang yang bersifat makro, namun perlu dibedakan apabila sudah menyangkut pembuatan rencana tata ruang yang bersifat detail seperti rencana tata ruang perkotaan.

Perkembangan kota-kota di Indonesia, dapat dilihat dari :

Peranan dan fungsi kota, yang dahulu dualistik sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, kini telah berkembang menjadi pusat informasi, pusat inovasi teknologi dan pusat akumulasi modal. Bahkan lebih jauh lagi, kota telah berperan sebagai pintu gerbang kemakmuran bagi daerah pedesaan. Kota telah menjadi indikator untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Karenanya, paradigma lama bahwa kota merupakan benteng (fungsi kekuasaan) dan fungsi permukiman (fungsi perlindungan), dalam menghadapi era globalisasi sudah harus ditinggalkan.
Perkembangan fisik kota, karena alasan praktis dan efisiensi, telah tumbuh mengikuti perkembangan jalur transfortasi dan dirancang dengan tipe bangunan yang homogen. Model perencanaan tata ruang kota yang disusun dengan kriteria yang seragam, turut mendorong pertumbuhan kota menjadi homogen. Padahal sesungguhnya, rancang bangun kota pantai (coastal city) tidak harus sama dengan kota gunung (inland city). Pola perkembangan fisik kota yang demikian, untuk masa depan sudah harus ditinggalkan. Karenanya perlu dicari model-model rancang bangun kota yang mengacu pada kondisi fisik wilayah dan bersumber pada akar budaya masyarakat setempat. Ini menjadi paradigma baru dimasa mendatang dan dapat disebut sebagai model rancang bangun yang bernuansa lokal.
Pergeseran nilai-nilai sosial budaya masyarakat perkotaan, cenderung mengarah pada budaya individualistis. Hal ini sering tidak dapat dihindari karena adanya pengaruh dari luar yang berakulturasi dengan nilai yang mentradisi dan berkembang menjadi nilai-nilai sosial yang baru. Pergeseran nilai-nilai ini perlu dikendalikan untuk mencegah lunturnya semangat gotong royong dan paguyuban yang menjadi akar dari falsafah kehidupan bermasyarakat Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, paradigma baru pembangunan masyarakat perkotaan dimasa datang perlu dikendalikan melalui perkuatan jatidiri dan falsafah hidup masyarakat setempat.
C. Penataan Ruang Perkotaan Bercirikan Lokal sebagai salah satu solusi Dalam Rangka Otonomi Daerah

Dengan adanya UU No.22 dan 25 tahun 1999 pelaksanaan penataan ruang perkotaan di Indonesia diharapkan tidak lagi sama, dan lebih bervariasi sesuai dengan potensi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia) serta keunikan yang ada di daerah tersebut. Dengan kata lain, pengembangan dan penataan ruang perkotaan yang akan datang hendaknya bercirikan lokal.

Pelaksanaan tata ruang kota bercirikan lokal akan menjadi dasar yang penting untuk membangun masa depan perkotaan yang lebih terarah dan konkrit. Beberapa aspek yang akan mendasari pelaksanaan pembangunan perkotaan dimasa depan adalah :

Penghargaan terhadap nilai-nilai sejarah berdirinya kota yang kemudian sekaligus dilestarikan.
Penggalian potensi kebhinekaan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dimana masing-masing kota memiliki sumberdaya internal yang perlu dikembangkan.
Mendorong perwujudan otonomi daerah yang lebih nyata.
Mengantisipasi pengaruh globalisasi, karena suatu kota yang tidak bercirikan lokal akan terbawa arus globalisasi.
Memberdayakan sumberdaya lokal maupun lembaga lokal dalam membuat rencana tata ruang kota untuk daerahnya.
Sebagai catatan bahwa penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal akan berhasil apabila :

Menghargai ciri lokal dari daerah lainnya, sehingga daerah-daerah di suatu kota akan selalu saling bergantungan satu dengan lainnya.
Melibatkan peran aktif ketiga aktor pembangunan dalam melakukan kemitraan. Ini merupakankunci keberhasilan pelaksanaan penataan ruang bercirikan lokal.
Menetapkan visi dan misi kota dalam pembangunan yang akan sangat besar berpengaruh bagi tercapainya penataan ruang perkotaan yang bercirikan lokal di Indonesia.

FILOSOFI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MASYARAKAT.

FILOSOFI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MASYARAKAT.


Pada tahun 1994 UNCHS di Nairobi mendeklarasikan The New Planning Paradigm, yang pada intinya adalah bahwa dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan kota harus melalui/mempertimbangkan community-perticipation, involvement of all interest groups, horizontal and vertical coordination, sustainability, financial-feasibility, subsidiary and interaction of physical and economic planning. Penjabaran dari deklarasi dunia ini oleh masing-masing negara diadopsi dengan konsensus bahwa "masyarakat" lah yang menjadi target program-program publik. Siapa yang akan terpengaruh langsung oleh perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan berhak memberikan share dalam keputusan-keputusan yang diterbitkan. Hal ini dilatar-belakangi kekurang-berhasilan system perencanaan nasional dan komprehensif yang penyusunannya didominasi pemerintah. Dalam perjalanan sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan kawasan, munculnya berbagai pendekatan dengan terminology baru seperti bottom-up planning, participatory planning, democratic planning, grass root planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan sebagainya menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar yaitu dalam suatu demokrasi anggota masyarakat harus memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka.
John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai planning sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan social dan proses transformasi social. Dikaitkan dengan kelembagaan, system perencanaan diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Perencanaan sebagai Social Reform. Dalam system perencanaan ini, peran Pemerintah sangat dominan, sifat perencanaan : centralized, for people, top-down, berjenjang dan dengan politik terbatas.

2. Perencanaan sebagai Policy Analysis. Dalam system perencanaan ini, Pemerintah bersama stakeholders memutuskan persoalan dan menyusun alternatif kebijakan. Sifat perencanaan ini decentralized, with people, scientific, dan dengan politik terbuka.

3. Perencanaan sebagai social learning. Dalam system perencanaan ini Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan learning by doing, decentralized, by people, bottom-up, dan dengan politik terbuka.

4. Perencanaan sebagai social Transformation. Perencanaan ini merupakan kristalisasi politik yang didasarkan pada ideology 'kolektivisme komunitarian'.

Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam social learning.

Ada dua rational kunci bagi peran serta masyarakat, yaitu :

1. Etika, yaitu bahwa di dalam masyarakat demokratik, mereka yang kehidupan, lingkungan dan penghidupannya dipertaruhkan sudah seharusnya dikonsultasikan dan dilibatkan dalam keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi mereka secara langsung.

2. Pragmatis, yaitu atas program dan kebijakan seringkali tergantung kepada kesediaan orang membantu kesuksesan program atau kebijakan tersebut.

Peran serta dalam hal ini diterjemahkan dan asal kata participation, yang diantaranya mempertimbangkan pendapat, mengartikan secara singkat bahwa partisipasi itu adalah take a part atau ikut serta. Peran serta masyarakat dengan keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan (dalam perencanaan) atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut di Inggris/Britania Raya lebih populer dengan istilah public participation, sedangkan di Amerika Serikat disebut dengan citizen participation, namun keduanya mengandung makna yang sama. Citizen participation didefinisikan sebagai proses yang memberikan peluang bagi masyarakat (citizens). Oleh karena itu, suatu peran serta memer;ukan kesediaan kedua belah pihak dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Adapun tujuan peran serta masyarakat yang ingin dicapai, pada prinsipnya harus pula dikondisikan suatu situasi dimana timbul keinginan masyarakat untuk berperan serta. Hal ini akan sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan peran serta masyarakat itu sediri. Pengkondisian tersebut harus mengarah kepada timbulnya peran serta bebas dan mengeliminir sebanyak mungkin peran serta terpaksa'. Peran serta bebas terjadi bila seorang individu melibatkan dirinya secara sukarela di dalam suatu kegiatan partisipatif tertentu, walaupun dalam klarifikasi ini masih dapat dibagi ke dalam :

- Peran serta spontan (keyakinan sendiri kehendak murni tanpa melalui penyuluhan/ajakan), dan

- Peran serta masyarakat terbujuk.

Peran serta terpaksa, dilakukan karena dua hal yaitu terpaksa oleh hukum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang mewajibkannya, dan terpaksa oleh tekanan situasi dan kondisi sosial ekonomi. Peran serta masyarakat memiliki keuntungan sosial, politik, planning dan keuntungan lainnya, yaitu :

• Dari pandangan sosial, keuntungan utamanya adalah untuk mengaktifkan populasi perkotaan yang cenderung individualistik, tidak punya komitmen dan dalam kasus yang ekstrim teralienasi. Di dalam proses partisipasi ini, secara simultan mempromosikan semangat komunitas dan rasa kerja sama dan keterlibatan. Pada kasus kelompok miskin dan lemah, partisipasi dapat berkontribusi ke proses peningkatan, pendidikan, dan pelatihan sebagai penyatuan (integrasi) ke dalam komunitas yang lebih luas yang di dalamnya rasa ketidakberdayaan (powelessness) dapat ditanggulangi dan swadaya (self-help) dan pembangunan kepemimpinan dapat dipromosikan.

• Dari segi politik, partisipasi lebih mempromosikan participatory dibanding demokrasi perwakilan (representative democracy) sebagai hak demokrasi dan setiap orang dan dengan demikian publik secara umum, untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik juga akan membantu dewan (counsellors) dan para pembuat keputusan lainnya untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai permintaan-permintaan dan aspirasi konstituen mereka atau semua pihak yang akan terpengaruh, dan sensitivitas pembuatan keputusan dapat dimaksimalkan jika ditangani secara tepat.

• Dan segi planning partisipasi menyediakan sebuah forum untuk saling tukar gagasan dan prioritas, penilaian akan public interest dalam dinamikanya serta diterimanya proposal-proposal perencanaan.

• Keuntungan lain dan public participation adalah kemungkinan tercapainya hubungan yang lebih dekat antara warga dengan otoritas kota dan menggantikan perilaku they/we menjadi perilaku us.

Banyak faktor yang menjadi hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam perencanaan. Peran serta masyarakat dalam sistem perencanaan dihadapkan pada berbagai persoalan, baik pada level negara bagian maupun lokal. Hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam penataan ruang (Donald Perlgut) yaitu :

1. Partisipasi dalam proses perencanaan lokal umumnya dimulai sangat terlambat, yaitu setelah rencana (the real planning directions) telah selesai disusun, sehingga masyarakat akhirnya hanya mempertanyakan hal-hal bersifat detail.

2. Partisipasi komunitas yang sungguh-sungguh sangat sedikit apalagi mengenai isu-isu besar seperti pertumbuhan dan pembangunan kota.

3. Ketika partisipasi tersebut benar-benar diinginkan, terlalu sedikit masyarakat yang terorganisasi atau yang terstruktur secara mapan yang efektif mengajukan masukan dan komunitas.

4. Pemerintah negara bagian maupun pemerintah lokal (kota), jika memang ingin, mampu menghindari peran serta masyarakat, dengan membuat keputusan-keputusan secara rahasia atau dengan menyediakan waktu yang tidak memadai untuk public discussion. Bahkan dengan peraturan (legislation) yang baik seperti di New South Wales, Environmental Planning and Assessment (EPA) Act (1979) dapat diabaikan atau dielakkan oleh peraturan baru.

5. Secara umum, komunitas tidak memiliki sumberdaya yang baik dalam hal waktu, keahlian atau ruang untuk membuat aspirasinya didengar secara efektif.